Halal Tapi Tidak Baik - Indah Fitriani Tanggapan #LayanganPutus
HALAL TAPI TIDAK THAYYIB
By Indah FitrianiHalal Saja Belum Cukup
Menanggapi Kisah #layangan_putus
Seringkali kita mendengar istilah "Halalan Thoyyiban" di restoran atau produk makanan.
Dulu saat masih kuliah saya bertanya kepada Ustadzah saya, "Apa maksudnya thoyyiban?"
Beliau menjawab "Maksudnya baik, pantas, sesuai dll"
"Contohnya?" tanya saya lagi
Beliau lalu menjelaskan.
"Misalnya makanan. Semua makanan kecuali daging babi, bangkai dan darah itu halal. Tapi orang yang kolesterolnya tinggi harus menghindari makanan yang berlemak. Apakah makanan berlemak itu haram? Tidak. Tapi apakah makanan berlemak itu baik untuk tubuhnya? Ternyata tidak. Jadi makanan berlemak bagi orang itu halal tapi tidak thoyyib."
MasyaAllah, sejak hari itu perlahan saya mulai memahami bahwa dalam syariat Islam ternyata halal saja tidak cukup. Ada kaidah selanjutnya yaitu thoyyib atau kepantasan, kebaikan, dll.
Saya temukan sejumlah contoh lain terkait Halalan Thoyyiban ini, sebagai berikut
Kita tahu bahwa. Aurat laki-laki dari pusar perut sampai ke lutut. Jadi kalau seorang laki-laki shalat, bahkan misalnya dia menjadi imam di masjid dengan bertelanjang dada hanya memakai kain yang menutupi aurat dari perut ke lutut saja sebenarnya shalatnya sah.
Tapi apakah hal itu pantas dilakukan di masjid ketika menghadap Allah? Tentu tidak. Dibutuhkan kaidah kepantasan. Kaidah ini berada di tahapan selanjutnya agar seorang beribadah dengan beradab.
Setiap ibadah ada syarat sahnya. Syarat sah sebagaimana kita pelajari di pelajaran agama dulu adalah syarat agar ibadah itu sah secara pelaksanaannya.
Dalam shalat misalnya ada beberapa syarat sah, antara lain : menutup aurat, suci dari hadas besar dan hadas kecil, tempat shalatnya suci dari najis.
Syarat sah adalah aturan yang simpel. Karena Islam memang didesain agar tidak memberatkan untuk beribadah.
Setelah syarat sah, ada aturan tambahan yaitu adab-adab. Adab-adab ini berupa kepantasan. Sebagaimana thayyib yang saya sebutkan di awal tadi. Jika dikerjakan maka itu baik, jika tidak dikerjakan tidak membatalkan sahnya suatu ibadah.
Kotoran burung dan tumpahan susu di lantai itu bukan najis, sekalipun seseorang shalat di atasnya maka shalatnya tetap sah. Tapi apa yang kita lakukan? Tentunya kita merasa tidak nyaman dengan tempat shalat kita yang kotor. Sebelum shalat pasti kita membersihkan tempat shalat lebih dulu agar bersih dan nyaman.
Contoh lain, jika seorang wanita shalat dengan mukena yang berbau apek, apakah shalatnya sah? Iya. Selama baunya bukan karena najis, shalatnya tetap sah. Tapi apakah dia nyaman mengerjakan shalat dengan mukena yang bau? Tentu tidak. Kalau disuruh memilih antara mukena yang bersih dan wangi dengan mukena yang berbau apek, tentu yang dipilih adalah mukena yang wangi, kan?
Mengapa itu semua kita kerjakan padahal bukan syarat sah dan hanya adab-adab saja? Jawabannya karena fitrah manusia selalu ingin menjadi makhluk yang beradab.
Lebih lanjut, saya ingin membawa kaidah ini dalam ibadah pernikahan.
Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan juga memiliki syarat sah dan adab-adabnya. Syarat sah adalah standar terendah suatu ibadah, sedangkan adab-adab adalah level selanjutnya.
Contoh.
Berbeda dengan wanita yang harus memiliki wali, seorang pria jika ingin menikah sebenarnya tidak membutuhkan ijin dari siapapun.
Tanpa memberitahu kepada ibu bapaknya pun pernikahannya dengan seorang perempuan tetap sah selama syarat-syarat sahnya terpenuhi, yaitu ijab qabul, ada mahar, ada wali dari perempuan, ada saksi. Itu saja. Perkara dia mau menikah tanpa sepengetahuan orang tua, dan keluarga besar pernikahannya tetap sah dalam hukum Islam.
Lantas, mengapa seorang laki-laki jika akan menikah dia mencari restu orang tuanya lebih dulu? Bahkan mungkin memperkenalkan calon istrinya kepada keluarganya. Padahal sebenarnya hal itu jika tidak dilakukan sebenarnya sah-sah saja.
Tapi sebagaimana yang saya sebutkan di awal, meminta ijin kepada orang tua adalah bagian dari adab seorang anak kepada orang tuanya. Kita semua meyakini bahwa sebuah pernikahan akan lebih nyaman dan berkah jika diiringi restu dari orang tua, keluarga dan orang-orang yang kita kasihi.
Jika boleh, saya kaitkan lagi kaidah ini dengan poligami. (Saya tidak sedang membahas kasus layangan yang sedang viral saja melainkan kasus poligami secara umum)
Secara hukum agama, seorang suami boleh menikah lagi tanpa ijin dan sepengetahuan istri sebelumnya. Apakah pernikahannya sah di mata agama. Iya, sah. Tapi apakah itu beradab? Tunggu dulu.
Lantas ada kondisi yang memaklumi suatu adab-adab ditinggalkan. Yakni jika berada dalam kondisi darurat.
Contoh, adab makan dan minum dengan tangan kanan, adab masuk WC adalah dengan kaki kiri.
Kalau seseorang makan dan minum dengan tangan kiri sambil berdiri, itu bisa dimaklumi kalau misalnya kondisinya dia sudah kelaparan dan tidak sempat lagi mengikuti adab-adabnya.
Yang penting makanan dan minuman itu halal, mau duduk mau berdiri terserah yang penting lapar segera reda. Itu dimaklumi.
Begitupun saat seseorang kebelet ingin buang air besar atau kecil. Dimaklumi jika misalnya dia masuk WC tanpa mengikuti adab-adabnya. Mau masuk pakai kaki kiri atau kaki kanan terserah yang penting hajat itu segera dibuang.
Jadi jika misalnya seorang suami menikah lagi tanpa mengerjakan adab-adabnya, tanpa ijin dulu atau tanpa memberitahu siapa-siapa maka yaaah... maklumi saja. Mungkin si suami sedang kelaparan atau kebelet.
Selanjutnya, karena dalam aturan agama membolehkan seorang suami berpoligami dengan atau tanpa sepengetahuan istri. Maka ada baiknya jika setiap istri selalu mempersiapkan hati untuk kondisi tersebut.
Setiap istri harus menyiapkan diri, kalau-kalau suaminya nanti menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Dia tidak boleh protes ke suami. Allah saja membolehkan, maka seorang istri tidak berhak melarang.
Saya tahu, hal itu pasti pahit dan perih. Tapi begitulah Allah membuat syariatnya.
Terkadang ada aturan yang dibolehkan dalam Islam meskipun sebenarnya menyakitkan bagi manusia.
Contohnya perang. Islam tidak mengharamkan perang. Perang dibolehkan. Meskipun kita ketahui bahwa perang itu menyakitkan dan memilukan. Dan tak ada seorang manusia pun yang menyukai perang bahkan pelaku perang itu sendiri. Tapi kita harus terima bahwa Allah membolehkan hal itu. Karena bisa jadi perang adalah solusi bagi sejumlah permasalahan tertentu.
Sebuah hal yang halal tidak berubah menjadi haram hanya karena tidak disukai oleh manusia.
Begitupun halnya poligami. Meskipun menyakitkan bagi orang-orang yang mengalaminya, tapi kita tidak boleh menolak bahwa syariat itu ada.
Karena bisa jadi hal itu adalah solusi bagi sejumlah permasalahan tertentu dan setiap pasangan suami istri harus mempersiapkan hati untuk kondisi tersebut.
Allah berfirman.
Apa yang kamu sangka baik boleh jadi itu buruk bagimu. Dan apa yang kamu sangka buruk boleh jadi itu baik bagimu.
Jangan sampai karena kesalahan satu dua orang lantas kita menolak syariat poligami.
Selanjutnya, mari kita fokus pada peran dan posisi kita masing-masing. Jangan lompat pagar.
Peran dan posisi seorang istri adalah berada di bawah naungan suami. Jika seorang istri tidak taat pada suami maka istri berdosa kepada suami.
Sedangkan peran seorang suami adalah memimpin rumah tangganya. Jika suami tidak mengimami dan menafkahi istri dan anak-anaknya dengan layak maka dia berdosa pada Allah.
Mau dia poligami atau tidak itu urusan suami. Mau dia adil atau tidak adil itu urusan suami dengan Allah. Perkara dia mendzhalimi istri dan anak-anaknya biarlah Allah yang menghukumnya di dunia dan/atau di akhirat.
Lalu peran "para penonton" adalah tidak ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Apalagi jika hanya bermaksud melampiaskan syahwat emosi tanpa memberi solusi atau mengambil ibrah/pembelajaran dari kejadian yang ada.
Sungguh, kita tidak bisa menyimpulkan mana yang benar mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Biarlah itu menjadi urusan mereka masing-masing, dan urusan mereka dengan Tuhannya.
Saya hanya ingin memberikan pandangan berbeda bagi kita semua terkait hal-hal yang sedang terjadi. Jika ini termasuk ghibah semoga Allah mengampuni saya.
Semoga berkenan dengan tulisan ini.
Segala yang benar datangnya dari Allah. Segala yang salah datangnya dari hamba sebagai makhluk yang lemah.
Wallahu a'lam bishshawwab.
#indahfitrianitaju
Penulis Novel dan Cerbung #Pengantin_Perawan
=====
Tambahan :
[Mungkin tulisan saya sebelumnya kurang lengkap sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Saya hanya kuatir tulisan ini kelewat panjang untuk dibaca.
Atau bisa jadi karena cara bertutur saya yang kurang baik sehingga pesan saya kurang tersampaikan. Saya masih belajar, mohon kiranya dimaklumi.]
Intinya begini, (menurut yang saya pahami) :
Poligami dengan sepengetahuan istri dan berbuat adil = halal dan thayyib
Poligami tanpa sepengetahuan istri = halal tapi tidak thayyib
Poligami dengan mendzhalimi anak dan/atau istri = itu perbuatan dosa.
Saya pernah simak pembahasan soal ini. Jika benar suami berbuat aniaya dan dzhalim, maka poligami yang seharusnya halal bisa berubah hukum menjadi haram.
Wallahu a'lam. (Jika ada yang lebih paham soal ini silakan dikoreksi atau ditambahkan 🙏)
Sayangnya di tulisan sebelumnya, saya tidak mengupas tentang kedzhaliman suami. Yang saya bahas hanya sampai sepengetahuan istri.
Tambahan lagi.
Kalimat "yaaah maklumi saja. Mungkin si suami lagi kebelet"
Maksud saya itu adalah kalimat sarkastis. Bahwa serendah itulah saya menyikapi pelaku poligami yang tidak beradab.
Saya berterima kasih atas semua orang yang sudah meluangkan waktu untuk membaca dan mengomentari. Masukan dan sarannya sangat membantu saya untuk melihat celah dari tulisan ini dan memperbaikinya. Jazakumullahu khair 🙏
Semoga kita semua saling menjaga dalam ketaatan pada syariat Allah. Saling menguatkan iman dan keyakinan bahwa apa yang Allah syariatkan pastilah memiliki manfaat bagi umat manusia.
Dan semoga saya dan kita semua menjadi pribadi yang lebih baik di masa yang akan datang. Aamiinn. Yaa Rabbal alamin...
Sumber : Facebook
0 Response to "Halal Tapi Tidak Baik - Indah Fitriani Tanggapan #LayanganPutus "
Post a Comment