GAGAL CIKIDIPAPAP By Zahra Matantu
#GAGAL_CIKIDIPA PAP
#FIKSI
By Zahra Matantu
Pagi yang dingin menusuk tulang, embun tebal menyelimuti alam. Membentuk titik-titik air di dedaunan hingga menjadi tetesan bening jatuh ke permukaan bumi. Mentari baru saja menampakkan wajahnya, memberi warna indah pada semesta alam. Menandakan hari ini cuaca akan cerah ceria menerangi penghuni kota ini.
Anita, wanita berparas cantik dan ayu itu sedari belum adzan Subuh, sudah berkutat di dapur memasak, mencuci, beberes, dan segala pekerjaan ibu rumah tangga lainnya.
"Bang ... bangun dong! Bantuin Adek lagi repot nih!" teriaknya kepada sang suami yang baru menikahinya minggu lalu.
Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Suaminya masih terlelap dalam balutan selimut tebal.
"Bang, bangunlah! Sudah setengah enam ini. Jangan tidur mulu!" Anita masuk kamar sambil menarik selimut yang menutupi badan kekasih halalnya itu.
"Heemmm. Dinginlah, Dek ...," ucap Badrun, suami Anita.
"Ish! Sudah pagi ini. Hampir jam tujuh loh!"
"Iya, iya, istri bawelku." Badrun berdiri sambil menowel pipi mulus wanita berambut sebahu itu.
***
Keseharian sepasang pengantin baru itu begitu nampak manis, mesra, dan penuh canda tawa. Mereka sangat bahagia atas bersatunya dalam mahligai pernikahan. Berdoa dan berharap tetap bersama, seia sekata, setia, jujur dan saling percaya sampai maut memisahkan nanti.
Anita adalah wanita pekerja, dia baru tiga bulan ini terangkat menjadi PNS di salah satu instansi pemerintah di kotanya.
Begitu pula dengan Badrun, suami yang tampan bermata elang. Bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar di provinsi lain. Artinya, setelah cuti nikah berakhir, mereka akan LDR-an.
"Bang, jalan yuk! Mumpung masih ada sisa cuti," ucap Anita pagi ini.
"Males, Dek. Abang lebih suka berdiam diri di rumah. Lebih enak dan nyaman, apa lagi kalo sambil mendekap kamu, Dek." Badrun mengerlingkan mata sambil tersenyum manis.
"Iiihh ... Abang bisa aja deh."
"Nah ... suara manja kek gini nih, yang bikin Abang tambah kesemsem. Pengen menerkam kamu terus deh. Hehehehe."
***
Tidak terasa waktu cuti tinggal sehari lagi. Anita sibuk memasukkan pakaian belahan jiwanya itu ke dalam tas dan beberapa perlengkapan lainnya. Setelah semuanya beres, mereka berdua beristirahat di kamar.
"Dek, nanti kalo Abang sudah di tempat kerja, baik-baik di rumah ya. Kalo nggak ada yang lebih penting, nggak usah ke luar rumah. Ngumpul boleh sama teman, tapi nggak boleh ghibah. Ke luar rumah, pake hijab. Tutuplah auratmu, karena Abanglah yang pantas melihat apa yang ada di dirimu ini." Badrun merangkul tubuh istri terkasihnya.
"Jangan terima tamu laki-laki. Kalo pun ada lawan jenis yang bertamu, biar duduk di luar. Jagalah maruwahmu. Termasuk adik dan kakak laki-lakiku. Jangan kau masukkan mereka ke dalam rumah. Karena mereka bukan mahrammu," lnjut Badrun.
"Abang menasehati kamu begini, karena Abang cinta dan sayang sama kamu. Abang yang memikul tanggung-jawab atas dirimu sekarang."
"Iya, Bang. Adek mengerti. Abang juga di sana jaga diri ya. Ingat! Di sini Adek menanti dengan setia, jangan sampai oleng terus lupa diri. Si joni itu jangan sembarangan dikeluarkan santannya. Jangan carikan Adek penyakit di luar sana ya, Bang." Anita memperbaiki posisi duduknya sambil menggenggam kedua tangan kepala rumah tangganya itu.
"Iya, Sayang. Berdoalah kepada Sang Pemilik Hati, agar hati kita sama-sama dijaga sama Allah. Diluruskan hati Adek dan Abang biar nggak oleng karena kalo oleng nanti kepentok dan bisa-bisa ambyar ikatan cinta suci kita, Sayang."
Mereka berdua saling memberi nasehat-nasehat .
Bercerita dan bercengkrama sampai lupa waktu. Tidak ingin waktu yang
tersisa terbuang percuma. Ah ... indahnya dunia. Nikmat mana lagi yang
kau dustakan. Mendapatkan pasangan untuk saling melengkapi, mampu
menerima kekurangan dan memberi kasih sayang yang tulus. So sweet.
***
Hari berganti minggu, berganti bulan. Tidak terasa Badrun sudah tiga bulan terpisah oleh jarak dan waktu dengan sang istri tercinta. Rindu kian membuncah di dada, tapi apalah daya, masa cuti masih lama. Untuk melepas rasa rindu itu mereka terkadang melakukan video call dan chat WA.
Agar tidak berlarut-larut memendam rasa yang membuncah, lelaki dengan tinggi seratus tujuh puluh centimeter itu banyak melakukan hal-hal positif. Seperti rutin berolah-raga, memperdalam ilmu agama sebagai bekal untuk membimbing istri dan anak-anaknya nanti.
Dia terkadang bermasa bodoh dengan penampilannya, rambut dibiarkan agak gonrong, kumisan, brewok dan jenggot, tumbuh liar di permukaan wajahnya yang tampan. Badannya sedikit cungkring, mungkin karena lama tidak bertemu dengan sang bidadari hatinya.
Berbeda dengan Anita, karena setres LDR-an. Wajah yang tadinya mulus kini berubah menjadi langit yang berbintang-bint ang.
Body yang tadinya bak gitar Spanyol, sekarang sudang melebar layaknya
gapura kecamatan. Oh ... sedahsyat itu pengaruh menahan rindu pada yang
terkasih. Ah, ternyata benar kata Dilan "rindu itu berat, kalian tidak
akan kuat. Biar aku saja." Hehehehe.
***
Wanita yang kini mulai berhijab itu, jika mengalami setres, nafsu makannya akan melonjak drastis. Apa pun dimakan yang penting kenyang, tanpa memperhitungkan tubuhnya berubah size.
Ting! Ting!
Sebuah pesan melalui aplikasi whatshaap di ponselnya. Dia buru-buru melihat siapakah yang mengirim chat itu.
[Sayang, video call-an yuk!] Pesan dari sang suami.
[Oke.] Anita langsung menekan tombol kamera di akun Badrun. Panggilan video itupun langsung tersambung.
"Halo! Assalamualaikum , Sayang ...." Anita menyapa suaminya diseberang sana.
"Waalaikumsalam . Sayangku juga. Mmmuuucchh."
"Abaaang! Itu rambut sama muka kenapa seperti itu, iissh. Jelek bangetlah, Bang. Masa seorang dokter rembes begitu sih. Nanti nggak dapat pasien loh!" cerocos Anita.
"Biar aja begini, biar nggak ada cewek yang naksir."
"Tapi jelek tau, Bang. Nanti pasien mikirnya, Abang tuh, dokter jorok. Cukur deh, rambut sama bulu-bulu di wajahnya itu."
"Iya, deh, Sayang. Besok Abang cukur. Kenapa pula itu muka'mu, Dek, kek parut gitu."
"Ini nih, gara-gara kangen sama Abang. Adek setres!"
"Kalo rindu itu berdoa, biar ditenangkan hatinya. Biar hati kita terjaga. Jangan dibikin setres deh. Hehehe. Abang juga rindu banget sama istri tersayaku ini. Mmuuaahh. Besok lagi telponnya ya, masih banyak kerjaan ini."
"Oke, Abang sayang ... Assalamualaikum ."
"Waalaikumsalam ."
***
Hari ini Badrun sudah mengambil cuti. Seharusnya memang cuti setahun sekali selama dua minggu, tapi dia mengambil cuti enam bulan sekali, selama seminggu.
Dia tidak memberitahu wanita yang sudah dia nikahi enam bulan ini, karena ingin memberi kejutan padanya nanti.
"Assalamualaiku m, Dek. Abang pulang nih!" ucap Badrun dari luar.
"Dek ... buka dong pintunya. Ngapain sih di dalam?" Badrun merogoh saku kemejanya, mengeluarkan androidnya untuk menelepon Anita. Namun, sayang ... panggilannya tidak diangkat. Di chat pun tidak dibalas.
Badrun yakin sang istri ada di dalam, motor maticnya terparkir di teras rumah. Dia berjalan menuju jendela kamar, menggedor jendela.
"Dek, tidurkah? Kok dipanggil-pangg il
nggak nyahut. Di telepon nggak diangkat. Dek ... Dek! Jangan biarkan
Abang kekeringan di luar menunggu terlalu lama oooiiiyy!" teriaknya.
Bagaimana Anita mau mendengar, wong dia sudah mimpi indah saking kenyangnya. Kalau sudah kenyang, mata pasti mengantuk, apa lagi ditiup kipas angin. Oh ... seakan matanya disapu-sapu. Tinggal luruskan badan, pulas deh.
Ketukan di jendela makin kuat ritmenya. Agar wanita yang sudah terlelap itu cepat sadar.
***
Satu jam kemudian Anita pun bangun, melirik jam dinding yang tergantung cantik di dekat pigura pernikahannya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13 : 30 WITA. Kemudian dia meraih ponselnya di atas nakas. Melihat banyak panggilan tak terjawab dari sang pujaan hati dan membuka beberapa chat WA.
Bergegas ke pintu, membukanya lebar-lebar, dan .... Terlihatlah laki-laki kesayangannya itu lagi selonjoran di dekat daun pintu.
"Abang .... Abang sudah pulang? Dari jam berapa di sini?" Merepet pula mulut Anita ini. Bukannya disuruh masuk itu suaminya.
"Dek ... kamukah itu? Badrun melongok melihat perubahan mencolok pada wanitanya yang kini berdiri tepat di depannya.
"Iiihh, Abang juga berubah banget, tuh ... badan tinggal tulang gitu."
"Hehehehe. Nggak pa-pa, yang penting masih ganteng. Iya 'kan. Adek itu ... sudahlah badan kayak ikan buntal, wajah berbintang kejora pula."
"Apa itu ikan buntal, Bang?" tanya Anita polos.
"Serius, Adek nggak tau ikan buntal itu?" Badrun balik bertanya.
"Nggak."
'Selamat kalo gitu.' Badrun membatin. Dia buru-buru masuk kamar, ganti baju dan beristirahat. Badan capek menempuh perjalanan jauh, menunggu terlalu lama di depan pintu. Eh, malah dicecar dengan pertanyaan. Tambah lelah hayati si Badrun.
***
"Abang! Adek sudah tau apa ikan buntal itu. Tega banget sih, ngatain bini'nya begitu. Malam ini, Abang tidur di luar!" Anita merajuk.
"Eh, kok gitu? Baru juga pulang, rindu banget nih. Mau cikidipapap."
"Istilah apa lagi tuh, Bang?"
"Istilah buat para pejuang LDR kayak kita. Hahaha."
"Nggak mau pokoknya, Adek merajuk!"
Akhirnya lelaki bersodiak Libra itupun, menerima nasibnya tidur di depan tv. Tengah malam buta, udara semakin dingin. Ditambah lagi di luar sana sedang hujan deras. Ada sesuatu yang bergejolak di bawah sana, siap untuk bertempur.
"Dek ... bukalah pintunya, di luar dingin. Masa nggak kasian sama Abang sih?" melas Badrun.
"Abang udah nggak tahan nih. Nggak pengenkah?"
Pintu pun terbuka, nampak istrinya yang berpose yahut. Menggoda iman. Buru-buru dia masuk dan duduk di atas pembaringan.
"Dek, cepetlah! Sudah siap bertarung ini."
"Sabar napa, Bang." Anita berdiri, melangkah ke kamar kecil untuk membersihkan diri.
"Jangan lama-lama di kamar mandi."
"Iya, bawel."
'Bersiaplah kau joni, usahakan kau menang dalam pertarungan ini. Akan kuberikan kau kekuatan super biar tambah mantap.' Badrun bergumam pada diri sendiri. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya.
Anita sudah kembali ke kamar dan duduk di sebelah imamnya. Tersenyum manis dia berkata, "Anu, Bang. Itu ...."
"Anu, itu apa toh, Dek?"
"Kayaknya kita gagal cikidipapap deh, Bang!" lesu wanita tambun itu berbicara.
"Lah ... kenapa?!"
"Adek palang merah, Bang," lirih Anita.
"Apa ...! Puasa lagi Si joni?" Badrun melotot tak percaya, dia reflek menutup mulut dengan kedua tangannya. Tak menyadari tisu ajaib yang sedari tadi digenggaman ikut ketelan saking kagetnya. Hahahaha. Malang nian nasib mereka.
END
Terima kasih admin dan moderator, sudah meng-approve tulisan saya. 😊🙏
Mohon krisannya. 🙏
Marimar
Tenggarong Seberang, 26 Januari 2020
Sumber: KBM Facebook
#FIKSI
By Zahra Matantu
Pagi yang dingin menusuk tulang, embun tebal menyelimuti alam. Membentuk titik-titik air di dedaunan hingga menjadi tetesan bening jatuh ke permukaan bumi. Mentari baru saja menampakkan wajahnya, memberi warna indah pada semesta alam. Menandakan hari ini cuaca akan cerah ceria menerangi penghuni kota ini.
Anita, wanita berparas cantik dan ayu itu sedari belum adzan Subuh, sudah berkutat di dapur memasak, mencuci, beberes, dan segala pekerjaan ibu rumah tangga lainnya.
"Bang ... bangun dong! Bantuin Adek lagi repot nih!" teriaknya kepada sang suami yang baru menikahinya minggu lalu.
Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Suaminya masih terlelap dalam balutan selimut tebal.
"Bang, bangunlah! Sudah setengah enam ini. Jangan tidur mulu!" Anita masuk kamar sambil menarik selimut yang menutupi badan kekasih halalnya itu.
"Heemmm. Dinginlah, Dek ...," ucap Badrun, suami Anita.
"Ish! Sudah pagi ini. Hampir jam tujuh loh!"
"Iya, iya, istri bawelku." Badrun berdiri sambil menowel pipi mulus wanita berambut sebahu itu.
***
Keseharian sepasang pengantin baru itu begitu nampak manis, mesra, dan penuh canda tawa. Mereka sangat bahagia atas bersatunya dalam mahligai pernikahan. Berdoa dan berharap tetap bersama, seia sekata, setia, jujur dan saling percaya sampai maut memisahkan nanti.
Anita adalah wanita pekerja, dia baru tiga bulan ini terangkat menjadi PNS di salah satu instansi pemerintah di kotanya.
Begitu pula dengan Badrun, suami yang tampan bermata elang. Bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar di provinsi lain. Artinya, setelah cuti nikah berakhir, mereka akan LDR-an.
"Bang, jalan yuk! Mumpung masih ada sisa cuti," ucap Anita pagi ini.
"Males, Dek. Abang lebih suka berdiam diri di rumah. Lebih enak dan nyaman, apa lagi kalo sambil mendekap kamu, Dek." Badrun mengerlingkan mata sambil tersenyum manis.
"Iiihh ... Abang bisa aja deh."
"Nah ... suara manja kek gini nih, yang bikin Abang tambah kesemsem. Pengen menerkam kamu terus deh. Hehehehe."
***
Tidak terasa waktu cuti tinggal sehari lagi. Anita sibuk memasukkan pakaian belahan jiwanya itu ke dalam tas dan beberapa perlengkapan lainnya. Setelah semuanya beres, mereka berdua beristirahat di kamar.
"Dek, nanti kalo Abang sudah di tempat kerja, baik-baik di rumah ya. Kalo nggak ada yang lebih penting, nggak usah ke luar rumah. Ngumpul boleh sama teman, tapi nggak boleh ghibah. Ke luar rumah, pake hijab. Tutuplah auratmu, karena Abanglah yang pantas melihat apa yang ada di dirimu ini." Badrun merangkul tubuh istri terkasihnya.
"Jangan terima tamu laki-laki. Kalo pun ada lawan jenis yang bertamu, biar duduk di luar. Jagalah maruwahmu. Termasuk adik dan kakak laki-lakiku. Jangan kau masukkan mereka ke dalam rumah. Karena mereka bukan mahrammu," lnjut Badrun.
"Abang menasehati kamu begini, karena Abang cinta dan sayang sama kamu. Abang yang memikul tanggung-jawab atas dirimu sekarang."
"Iya, Bang. Adek mengerti. Abang juga di sana jaga diri ya. Ingat! Di sini Adek menanti dengan setia, jangan sampai oleng terus lupa diri. Si joni itu jangan sembarangan dikeluarkan santannya. Jangan carikan Adek penyakit di luar sana ya, Bang." Anita memperbaiki posisi duduknya sambil menggenggam kedua tangan kepala rumah tangganya itu.
"Iya, Sayang. Berdoalah kepada Sang Pemilik Hati, agar hati kita sama-sama dijaga sama Allah. Diluruskan hati Adek dan Abang biar nggak oleng karena kalo oleng nanti kepentok dan bisa-bisa ambyar ikatan cinta suci kita, Sayang."
Mereka berdua saling memberi nasehat-nasehat
***
Hari berganti minggu, berganti bulan. Tidak terasa Badrun sudah tiga bulan terpisah oleh jarak dan waktu dengan sang istri tercinta. Rindu kian membuncah di dada, tapi apalah daya, masa cuti masih lama. Untuk melepas rasa rindu itu mereka terkadang melakukan video call dan chat WA.
Agar tidak berlarut-larut memendam rasa yang membuncah, lelaki dengan tinggi seratus tujuh puluh centimeter itu banyak melakukan hal-hal positif. Seperti rutin berolah-raga, memperdalam ilmu agama sebagai bekal untuk membimbing istri dan anak-anaknya nanti.
Dia terkadang bermasa bodoh dengan penampilannya, rambut dibiarkan agak gonrong, kumisan, brewok dan jenggot, tumbuh liar di permukaan wajahnya yang tampan. Badannya sedikit cungkring, mungkin karena lama tidak bertemu dengan sang bidadari hatinya.
Berbeda dengan Anita, karena setres LDR-an. Wajah yang tadinya mulus kini berubah menjadi langit yang berbintang-bint
***
Wanita yang kini mulai berhijab itu, jika mengalami setres, nafsu makannya akan melonjak drastis. Apa pun dimakan yang penting kenyang, tanpa memperhitungkan
Ting! Ting!
Sebuah pesan melalui aplikasi whatshaap di ponselnya. Dia buru-buru melihat siapakah yang mengirim chat itu.
[Sayang, video call-an yuk!] Pesan dari sang suami.
[Oke.] Anita langsung menekan tombol kamera di akun Badrun. Panggilan video itupun langsung tersambung.
"Halo! Assalamualaikum
"Waalaikumsalam
"Abaaang! Itu rambut sama muka kenapa seperti itu, iissh. Jelek bangetlah, Bang. Masa seorang dokter rembes begitu sih. Nanti nggak dapat pasien loh!" cerocos Anita.
"Biar aja begini, biar nggak ada cewek yang naksir."
"Tapi jelek tau, Bang. Nanti pasien mikirnya, Abang tuh, dokter jorok. Cukur deh, rambut sama bulu-bulu di wajahnya itu."
"Iya, deh, Sayang. Besok Abang cukur. Kenapa pula itu muka'mu, Dek, kek parut gitu."
"Ini nih, gara-gara kangen sama Abang. Adek setres!"
"Kalo rindu itu berdoa, biar ditenangkan hatinya. Biar hati kita terjaga. Jangan dibikin setres deh. Hehehe. Abang juga rindu banget sama istri tersayaku ini. Mmuuaahh. Besok lagi telponnya ya, masih banyak kerjaan ini."
"Oke, Abang sayang ... Assalamualaikum
"Waalaikumsalam
***
Hari ini Badrun sudah mengambil cuti. Seharusnya memang cuti setahun sekali selama dua minggu, tapi dia mengambil cuti enam bulan sekali, selama seminggu.
Dia tidak memberitahu wanita yang sudah dia nikahi enam bulan ini, karena ingin memberi kejutan padanya nanti.
"Assalamualaiku
"Dek ... buka dong pintunya. Ngapain sih di dalam?" Badrun merogoh saku kemejanya, mengeluarkan androidnya untuk menelepon Anita. Namun, sayang ... panggilannya tidak diangkat. Di chat pun tidak dibalas.
Badrun yakin sang istri ada di dalam, motor maticnya terparkir di teras rumah. Dia berjalan menuju jendela kamar, menggedor jendela.
"Dek, tidurkah? Kok dipanggil-pangg
Bagaimana Anita mau mendengar, wong dia sudah mimpi indah saking kenyangnya. Kalau sudah kenyang, mata pasti mengantuk, apa lagi ditiup kipas angin. Oh ... seakan matanya disapu-sapu. Tinggal luruskan badan, pulas deh.
Ketukan di jendela makin kuat ritmenya. Agar wanita yang sudah terlelap itu cepat sadar.
***
Satu jam kemudian Anita pun bangun, melirik jam dinding yang tergantung cantik di dekat pigura pernikahannya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13 : 30 WITA. Kemudian dia meraih ponselnya di atas nakas. Melihat banyak panggilan tak terjawab dari sang pujaan hati dan membuka beberapa chat WA.
Bergegas ke pintu, membukanya lebar-lebar, dan .... Terlihatlah laki-laki kesayangannya itu lagi selonjoran di dekat daun pintu.
"Abang .... Abang sudah pulang? Dari jam berapa di sini?" Merepet pula mulut Anita ini. Bukannya disuruh masuk itu suaminya.
"Dek ... kamukah itu? Badrun melongok melihat perubahan mencolok pada wanitanya yang kini berdiri tepat di depannya.
"Iiihh, Abang juga berubah banget, tuh ... badan tinggal tulang gitu."
"Hehehehe. Nggak pa-pa, yang penting masih ganteng. Iya 'kan. Adek itu ... sudahlah badan kayak ikan buntal, wajah berbintang kejora pula."
"Apa itu ikan buntal, Bang?" tanya Anita polos.
"Serius, Adek nggak tau ikan buntal itu?" Badrun balik bertanya.
"Nggak."
'Selamat kalo gitu.' Badrun membatin. Dia buru-buru masuk kamar, ganti baju dan beristirahat. Badan capek menempuh perjalanan jauh, menunggu terlalu lama di depan pintu. Eh, malah dicecar dengan pertanyaan. Tambah lelah hayati si Badrun.
***
"Abang! Adek sudah tau apa ikan buntal itu. Tega banget sih, ngatain bini'nya begitu. Malam ini, Abang tidur di luar!" Anita merajuk.
"Eh, kok gitu? Baru juga pulang, rindu banget nih. Mau cikidipapap."
"Istilah apa lagi tuh, Bang?"
"Istilah buat para pejuang LDR kayak kita. Hahaha."
"Nggak mau pokoknya, Adek merajuk!"
Akhirnya lelaki bersodiak Libra itupun, menerima nasibnya tidur di depan tv. Tengah malam buta, udara semakin dingin. Ditambah lagi di luar sana sedang hujan deras. Ada sesuatu yang bergejolak di bawah sana, siap untuk bertempur.
"Dek ... bukalah pintunya, di luar dingin. Masa nggak kasian sama Abang sih?" melas Badrun.
"Abang udah nggak tahan nih. Nggak pengenkah?"
Pintu pun terbuka, nampak istrinya yang berpose yahut. Menggoda iman. Buru-buru dia masuk dan duduk di atas pembaringan.
"Dek, cepetlah! Sudah siap bertarung ini."
"Sabar napa, Bang." Anita berdiri, melangkah ke kamar kecil untuk membersihkan diri.
"Jangan lama-lama di kamar mandi."
"Iya, bawel."
'Bersiaplah kau joni, usahakan kau menang dalam pertarungan ini. Akan kuberikan kau kekuatan super biar tambah mantap.' Badrun bergumam pada diri sendiri. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya.
Anita sudah kembali ke kamar dan duduk di sebelah imamnya. Tersenyum manis dia berkata, "Anu, Bang. Itu ...."
"Anu, itu apa toh, Dek?"
"Kayaknya kita gagal cikidipapap deh, Bang!" lesu wanita tambun itu berbicara.
"Lah ... kenapa?!"
"Adek palang merah, Bang," lirih Anita.
"Apa ...! Puasa lagi Si joni?" Badrun melotot tak percaya, dia reflek menutup mulut dengan kedua tangannya. Tak menyadari tisu ajaib yang sedari tadi digenggaman ikut ketelan saking kagetnya. Hahahaha. Malang nian nasib mereka.
END
Terima kasih admin dan moderator, sudah meng-approve tulisan saya. 😊🙏
Mohon krisannya. 🙏
Marimar
Tenggarong Seberang, 26 Januari 2020
Ilustrasi Google Image |
0 Response to "GAGAL CIKIDIPAPAP By Zahra Matantu"
Post a Comment