Haruskah Kuceraikan Suamiku? Kisah Nyata
Haruskah Kuceraikan Suamiku
By : Ima Fatimah
Kisah Nyata
Diluar sana, banyak orang yang mengira hidupku mapan, nyaman, tenang dan senang. Wajar mereka berfikir begitu, suamiku kebetulan pegawai negeri, dan men-jabat sebagai kepala bagian, membuat orang berfikir hidupku sangat enak.
Kenyataannya, itu semua hanyalah casing. Bahkan, berapa nominal gaji suamiku perbulan pun, aku tak tau. Memang benar, penonton selalu menilai dengan apa yang mereka lihat. Walaupun apa yang mereka lihat, belum tentu itulah, kebenarannya.
Selayaknya gemuruh tepukan untuk suamiku yang sangat pandai bersandiwara, dengan drama yang ia perankan membuat dirinya terlihat diatas. Ia sangat gagah dengan bintang yang ia genggam dari sebuah jabatan yang ia miliki, terlihat pongah, serakah, pelit, sombong bahkan memonopoli hidupku.
Mata orang lain bisa ia kelabui dengan drama-drama bersambungnya di setiap episode, bagiku lelaki itu bak benalu yang setiap detiknya mengerogoti waktu dan seluruh hidupku hampir mampus.
Dirinya yang suka sanjungan akan semakin meninggi bualan-bualan kosong. Ia tertawa enteng, se-ringan bibirnya mengucapkan isapan jempol di depan orang ramai seakan dirinya saat ini adalah dewa.
Cuiiihhh!!!
Menjijikkan sekali.
Jangan tanya malu-ku sebesar apa, jika kenyataannya NOL akan semua ucapannya.
Perlahan borok dari sikapnya terlihat jelas semakin menyebar aroma busuk hingga ke keluarga besarku.
Suamiku tidak segan-segan meminta bantuan dan ketika diminta bantuan selalu ada alasan.
Aku adalah istri dari seorang pejabat, terdengar keren bukan? Apalagi istrinya ini seorang wanita karier juga. Banyak yang berdecak kagum dan memberi pujian berdenging di telinga.
Pantaskan seorang suami, setiap hari meminta uang kepada istrinya?
"Dek, mana uangnya? Biar aku belikan beras, ikan, sayur, sama ... apa lagi tadi yang habis?" Dengan rajinnya ia ke pasar demi sandiwaranya mengambil hatiku, supaya uangnya tidak pernah keluar.
"Minyak," Jawabku singkat dengan muka ditekuk.
"Hah, iya itu!" Tangannya menadah, menantiku mengeluarkan uang.
"Dek, gasnya habis ya? Tambahin dong uangnya, biar aku beli sekalian."
Setiap harinya berderet-deret kalimat meminta dilontaran suamiku.
Aku bingung, siapa sebenarnya istri? Siapa suami?
Dia terlalu andil dalam urusan dapur, pribadiku, keluargaku, tapi sebatas urusan yang berhubungan dengan nominal.
"Dek, uang Dek! mau beli bensin."
"Dek, uang Dek! mau beli popok."
"Dek, uang Dek! mau beli sayur."
"Dek, uang Dek! mau beli air galon."
Jujur aku muak, marah, kesal, benci dan tak tahu harus bagaimana.
Selama kami menikah selalu ada alasan untuk tidak memberiku uang, saat ia senang tak mengingatiku sama sekali.
Bahkan selama menikah, lelaki ini tidak pernah memberiku uang dari hasil jerih payahnya.
Sungguh aku ikhlas berapapun itu jumlahnya.
Air mataku sudah mengering bak pengemis siang dan malam demi nafkahku dan anak.
Tidak ada artinya.
"Bang, sebenarnya ke mana penghasilan Abang? Bukannya istri yang seharusnya mengelola uang suami?" Kucoba bujuk lagi.
"Nantilah, tunggu lunas cicilan kita," jawabnya enteng.
Astagfirullah ....
Hanya mengusap dada yang kubisa tatkala lembaran merah menumpuk di dalam dompetnya.
Dengan hasil gajiku yang seadanya, makan apa adanya, terkadang timbul rasa iri melihat saudara-saudara
Kami?
Hanya pura-pura WAH.
Makan ikan asin dan daun singkong yang dibelanjakan suamiku setiap pagi, tempe, bayam. Menu itu-itu setiap hari, dan lucunya, harus suamiku yang belanja. Sangat pintar memang, supaya gajiku cukup dengan makan ala kadarnya, listrik, gas, popok bayi, dan semua keperluan di rumah.
10 tahun berumah tangga dengannya semua tanggungan kupikul, apakah pantas dia kusebut suami? Kewajibannya hanya menunggangiku di malam dinginnya? Memuakkan!!
"Bang, bisa antar Adek kerja?" Selalu kubaca dulu bahasa tubuhnya, apakah ia ada hati mengantarku.
"Capek! Pigi sendiri aja." Ucapan ini paling kerap aku dengar.
Tak dapat kubantah.
"Air galon habis, bisa beli gak sih?" Hal kecil ini pun akan membuatnya kalap jika suasana hatinya gelap.
"Rumah berantakan, kerjamu apa seharian?" Repetannya akan hal-hal kecil selalu membuatku jengah.
Sedikitpun mata hatinya tak melihat apa yang kuperbuat, mulai terbit matahari hingga tenggelam, semua waktuku tidak ada terbuang sia-sia.
Adik-adikku semakin sering mendengar ocehan dan bentakannya terhadapku, hingga membuat mereka canggung dan risih untuk bertandang.
Oh, Gusti!!! kenapa harus semuanya aku. Aku yang masak, aku yang bersihin rumah, aku yang nyetrika, aku yang cuci kain. Aku yang menafkahi hidupnya dan semua keperluan ini dan itu. Bahkan uang buat jaga pengasuh pun aku yang bayar.
Paling lucunya, ke-pelitannya yang langka.
"Kenapa sih, adekmu harus pinjam termos dari kita. Emangnya nggak bisa dia beli termos sendiri? Berapa sih harga termos?"
Gak ada salahnya kurasa jika adikku meminjam termos atau apa saja, apalagi saat itu adikku lagi ngurus anaknya yang dirumah sakit. Sedang yang minjam termos suaminya.
"Termos mereka pecah, Bang," jawabku mendiamkan ocehannya.
"Apa! pecah termosnya? Bla-bla-blaaa ...."
Ya Salaaaam, semakin panjang repetannya.
Rasa muakku semakin memuncak atas sikap suamiku yang mengesalkan, tidak ada manis-manisnya sedikitpun.
Terhadap keluargaku tak ada sikap baiknya tapi jika menguntungkan harus melibatkan mereka.
"Bang, karna Abang lagi libur tolong jaga anak kita ya. Pengasuh lagi halangan masuk." Waktu itu aku harus bekerja.
"Sebenarnya, adekmu kan bisa jaga anak-anak untuk sementara. Selama pengasuh belum balik."
"Ini bukan urusan mereka Bang, anak urusan kita."
"Hah! Kau ini, biasalah itu. Antar ke sana aja, repot aku."
Jika emosiku timbul, ingin aku berteriak," punya otak gak sih?"
Namun yang keluar dari bibirku beda.
"Aku minta cerai, Bang. Jujur, aku sudah nggak tahan dengan semua ini."
"Kalau mau cerai jangan harap kau bisa bawa anak-anak. Ingat! Anak-anak samaku."
"Enak, aja. Anak-anak masih dibawah umur. Mereka masih dalam pengasuhan ibunya." Balasku tak mau kalah.
"Zaman sekarang, hukum bisa dibelokkan."
Ya Kariiim ....
Bicara dengannya jangankan kalah, seri pun, tak bisa.
Jujur aku bingung, apa yang harus aku perbuat. Apakah harus kuceraikan saja suamiku?
*Kisah ini adalah curhatan seseorang, barangkali pembaca bisa memberinya masukan dan saling menguatkan.
Sabar ya menunggu episode Nona Namora.
Ilustrasi Haruskah Kuceraikan Suamiku? Kisah Nyata |
0 Response to "Haruskah Kuceraikan Suamiku? Kisah Nyata"
Post a Comment