KALDU by Mia Damayanti
#Kaldu
Oleh Mia Damayanti
"Na,nanti jangan lupa minta air kaldu ya," ucap ibu sebelum berangkat mengajar.
"Enggih bu," jawabku.
Begitulah, hampir setiap hari ibu menyuruhku meminta air kaldu di rumah Bu Ayun, tetanggaku yang berjualan nasi campur.
Air kaldu bekas ungkep ayam itu memang tidak digunakan lagi oleh Bu Ayun, jadi beliau tidak keberatan saat kami meminta air kaldunya setiap hari.
Terkadang bahkan Bu Ayun memberikan potongan ceker, leher atau kepala ayam.
Alhamdulillah.
Jika ada rejeki, air kaldu itu akan dibuat ibu untuk memasak sayur agar terasa lebih lezat.
Jika tidak, maka cukup air kaldu itu sebagai lauk makanku beserta adik-adik.
Oh ya, namaku Nena.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara.
Dua adikku juga perempuan.
Lia, dua tahun di bawahku. Dia kelas lima SD sekarang.
Dan Tari masih kelas dua SD.
Ibuku, seorang guru SD.
Tapi kami semua tidak ada yang bersekolah di sekolah tempat ibu mengajar.
Alasannya agar kami lebih mandiri dan tidak menimbulkan kecemburuan dimata teman-temanku.
Jika nilai kami bagus, ibu khawatir orang-orang akan berfikir, nilai kami bagus karena dibantu ibu.
Bapak meninggal sejak adik bungsuku masih berusia tiga tahun.
Sejak saat itu, penghasilan keluarga hanya dari ibu.
Sebagai anak tertua, akupun dituntut dewasa sebelum waktunya.
Semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabku.
Sewaktu adik bungsuku belum bersekolah, terkadang ibu membawanya serta saat mengajar.
Tapi setelah masuk SD, pengasuhan adik-adik menjadi tanggung jawabku.
Hari berganti.
Rutinitasku tetap sama.
Setiap haripun aku masih rutin meminta air kaldu di rumah Bu Ayun.
Kemurahan hati beliau, membuka jalan rejeki buat beliau sekeluarga.
Usaha warung makannya semakin berkembang.
Sekarang Bu Ayun bisa mempekerjakan seseorang untuk membantunya.
Bi Ecih namanya.
Namun ada yang berbeda, tatapan Bi Ecih kurasa kurang bersahabat setiap kali aku datang membawa rantang untuk meminta air kaldu. Atau itu cuma perasaanku saja, entahlah.
*****
"Na, besok udah gak bisa minta air kaldu lagi ya," kata Bi Ecih suatu hari.
"Loh kenapa Bi, besok Bu Ayun gak jualan ya ?"
"Jualan. Tapi khan kamu tau sendiri, sekarang harga semua-semua mahal. Masa kamu minta gratisan terus.
"Oh sekarang harus bayar ya Bi ?" tanyaku polos.
"Lah iyaa, emang ini warung punya mbahmu," kata Bi Ecih ngedumel.
"Kalau bayar, saya harus bayar berapa Bi ?"
"Tiga ribu aja buat kamu !" kata Bi Ecih ketus
Tiga ribu, gumamku dalam hati.
Uang segitu lumayan besar buat kami. Bisa beli satu papan tempe untuk lauk dua kali makan kami sekeluarga.
Aku berjalan gontai, membawa pulang kaldu terakhir yang boleh kuminta secara gratis hari ini.
Pekerjaan ibu yang hanya sebagai Guru honorer hanya di bayar 318.000 perbulannya. Itupun ibu terima per tiga bulan sekali.
Uang itulah yang diatur ibu dengan sangat hemat.
Beras yang menjadi prioritas ibu.
"Asal tetap ada nasi, apapun lauknya tetap harus di syukuri ya nak," ucap ibu kala itu.
Kamipun mengangguk, walaupun mungkin kami sering menghayal merasakan nikmatnya makan ayam goreng atau telur opor.
Air kaldu yang kadang terselip kulit ayam, ceker atau kepala adalah lauk ternikmat bagi kami.
Sesekali memang berlauk tempe goreng dan kerupuk.
Yang saat ibu gajian, kamipun kadang memakan telur dadar. Satu untuk bertiga.
Ibu tak pernah ikut memakannya, katanya buat kami saja.
Dihari yang lain, terkadang ibu juga membawa sayur mayur. Daun singkong, Turi dan kelor pemberian dari Pak Hasan, tetangga kami yang rumahnya di ujung jalan.
*****
Ahad adalah hari yang paling kunanti. Tidak saja karena aku libur sekolah tapi juga karna ibu libur mengajar.
Hari itu akan menjadi saat dimana kami bebas bermanja dengan ibu.
Siang itu, matahari bersinar terik.
Ibu menyuruhku membeli es batu di warung Bu Ayun.
Saat berjalan disamping warungnya itu, aku tak sengaja mendengar percakapan Bu Ayun dan Bi Ecih.
"Udah lama ya Nena gak kesini minta air kaldu yaa Bi?" tanya Bu Ayun ke pembantunya.
"Mmmm iya Bu, gak tau juga," jawab Bi Ecih.
Mendengar percakapan mereka, aku urung masuk ke dalam warung dan memilih membeli es batu di tempat lain lalu bergegas pulang.
*****
"Kak, kok sekarang gak pernah minta air kaldu lagi ?" tanya si bungsu yang terlihat tidak berselera memakan nasi dengan taburan garam dan air di hadapannya.
"Mmm iya dek, warung Bu Ayun sekarang tetap rame, kakak sungkan mau ganggu Bu Ayun yang lagi sibuk melayani pembeli," kataku memberi alasan.
Aakkhh sedih sekali rasanya jika mengingat percakapan terakhir dengan Bi Ecih waktu itu.
Tapi mau bagaimana lagi.
Andai saja Bapak masih hidup.
Mungkin keadaan kami tidak seperti sekarang ini.
Ibu pun seperti tak ada istirahatnya.
Pulang mengajar, ibu membuat kue yang di titipkan ke warung-warung.
Jika kuenya habis, terkadang kami diberi uang untuk sekedar membeli cilok atau popice.
Melihat kebahagian sederhana kami yang bisa jajan, terkadang Netra Ibu mengembun.
Kesedihan yang selalu beliau sembunyikan dalam diam.
Tapi selalu luruh dalam isak tangis di sepertiga malam.
Doa-doa untuk keberkahan hidup kami yang selalu aku dengar beliau panjatkan, manakala aku terbangun saat semesta masih terlelap di buai mimpi.
[ Bersabarlah Bu,
Kelak, saat aku dewasa.
Aku yang akan menggantikan tanggung jawabmu.
Doakan saja aku, agar aku bisa mencipta pelangi setelah hujan.
Janjiku ].
**** END ****
Oleh Mia Damayanti
"Na,nanti jangan lupa minta air kaldu ya," ucap ibu sebelum berangkat mengajar.
"Enggih bu," jawabku.
Begitulah, hampir setiap hari ibu menyuruhku meminta air kaldu di rumah Bu Ayun, tetanggaku yang berjualan nasi campur.
Air kaldu bekas ungkep ayam itu memang tidak digunakan lagi oleh Bu Ayun, jadi beliau tidak keberatan saat kami meminta air kaldunya setiap hari.
Terkadang bahkan Bu Ayun memberikan potongan ceker, leher atau kepala ayam.
Alhamdulillah.
Jika ada rejeki, air kaldu itu akan dibuat ibu untuk memasak sayur agar terasa lebih lezat.
Jika tidak, maka cukup air kaldu itu sebagai lauk makanku beserta adik-adik.
Oh ya, namaku Nena.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara.
Dua adikku juga perempuan.
Lia, dua tahun di bawahku. Dia kelas lima SD sekarang.
Dan Tari masih kelas dua SD.
Ibuku, seorang guru SD.
Tapi kami semua tidak ada yang bersekolah di sekolah tempat ibu mengajar.
Alasannya agar kami lebih mandiri dan tidak menimbulkan kecemburuan dimata teman-temanku.
Jika nilai kami bagus, ibu khawatir orang-orang akan berfikir, nilai kami bagus karena dibantu ibu.
Bapak meninggal sejak adik bungsuku masih berusia tiga tahun.
Sejak saat itu, penghasilan keluarga hanya dari ibu.
Sebagai anak tertua, akupun dituntut dewasa sebelum waktunya.
Semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabku.
Sewaktu adik bungsuku belum bersekolah, terkadang ibu membawanya serta saat mengajar.
Tapi setelah masuk SD, pengasuhan adik-adik menjadi tanggung jawabku.
Hari berganti.
Rutinitasku tetap sama.
Setiap haripun aku masih rutin meminta air kaldu di rumah Bu Ayun.
Kemurahan hati beliau, membuka jalan rejeki buat beliau sekeluarga.
Usaha warung makannya semakin berkembang.
Sekarang Bu Ayun bisa mempekerjakan seseorang untuk membantunya.
Bi Ecih namanya.
Namun ada yang berbeda, tatapan Bi Ecih kurasa kurang bersahabat setiap kali aku datang membawa rantang untuk meminta air kaldu. Atau itu cuma perasaanku saja, entahlah.
*****
"Na, besok udah gak bisa minta air kaldu lagi ya," kata Bi Ecih suatu hari.
"Loh kenapa Bi, besok Bu Ayun gak jualan ya ?"
"Jualan. Tapi khan kamu tau sendiri, sekarang harga semua-semua mahal. Masa kamu minta gratisan terus.
"Oh sekarang harus bayar ya Bi ?" tanyaku polos.
"Lah iyaa, emang ini warung punya mbahmu," kata Bi Ecih ngedumel.
"Kalau bayar, saya harus bayar berapa Bi ?"
"Tiga ribu aja buat kamu !" kata Bi Ecih ketus
Tiga ribu, gumamku dalam hati.
Uang segitu lumayan besar buat kami. Bisa beli satu papan tempe untuk lauk dua kali makan kami sekeluarga.
Aku berjalan gontai, membawa pulang kaldu terakhir yang boleh kuminta secara gratis hari ini.
Pekerjaan ibu yang hanya sebagai Guru honorer hanya di bayar 318.000 perbulannya. Itupun ibu terima per tiga bulan sekali.
Uang itulah yang diatur ibu dengan sangat hemat.
Beras yang menjadi prioritas ibu.
"Asal tetap ada nasi, apapun lauknya tetap harus di syukuri ya nak," ucap ibu kala itu.
Kamipun mengangguk, walaupun mungkin kami sering menghayal merasakan nikmatnya makan ayam goreng atau telur opor.
Air kaldu yang kadang terselip kulit ayam, ceker atau kepala adalah lauk ternikmat bagi kami.
Sesekali memang berlauk tempe goreng dan kerupuk.
Yang saat ibu gajian, kamipun kadang memakan telur dadar. Satu untuk bertiga.
Ibu tak pernah ikut memakannya, katanya buat kami saja.
Dihari yang lain, terkadang ibu juga membawa sayur mayur. Daun singkong, Turi dan kelor pemberian dari Pak Hasan, tetangga kami yang rumahnya di ujung jalan.
*****
Ahad adalah hari yang paling kunanti. Tidak saja karena aku libur sekolah tapi juga karna ibu libur mengajar.
Hari itu akan menjadi saat dimana kami bebas bermanja dengan ibu.
Siang itu, matahari bersinar terik.
Ibu menyuruhku membeli es batu di warung Bu Ayun.
Saat berjalan disamping warungnya itu, aku tak sengaja mendengar percakapan Bu Ayun dan Bi Ecih.
"Udah lama ya Nena gak kesini minta air kaldu yaa Bi?" tanya Bu Ayun ke pembantunya.
"Mmmm iya Bu, gak tau juga," jawab Bi Ecih.
Mendengar percakapan mereka, aku urung masuk ke dalam warung dan memilih membeli es batu di tempat lain lalu bergegas pulang.
*****
"Kak, kok sekarang gak pernah minta air kaldu lagi ?" tanya si bungsu yang terlihat tidak berselera memakan nasi dengan taburan garam dan air di hadapannya.
"Mmm iya dek, warung Bu Ayun sekarang tetap rame, kakak sungkan mau ganggu Bu Ayun yang lagi sibuk melayani pembeli," kataku memberi alasan.
Aakkhh sedih sekali rasanya jika mengingat percakapan terakhir dengan Bi Ecih waktu itu.
Tapi mau bagaimana lagi.
Andai saja Bapak masih hidup.
Mungkin keadaan kami tidak seperti sekarang ini.
Ibu pun seperti tak ada istirahatnya.
Pulang mengajar, ibu membuat kue yang di titipkan ke warung-warung.
Jika kuenya habis, terkadang kami diberi uang untuk sekedar membeli cilok atau popice.
Melihat kebahagian sederhana kami yang bisa jajan, terkadang Netra Ibu mengembun.
Kesedihan yang selalu beliau sembunyikan dalam diam.
Tapi selalu luruh dalam isak tangis di sepertiga malam.
Doa-doa untuk keberkahan hidup kami yang selalu aku dengar beliau panjatkan, manakala aku terbangun saat semesta masih terlelap di buai mimpi.
[ Bersabarlah Bu,
Kelak, saat aku dewasa.
Aku yang akan menggantikan tanggung jawabmu.
Doakan saja aku, agar aku bisa mencipta pelangi setelah hujan.
Janjiku ].
**** END ****
Ilustrasi KALDU by Mia Damayanti |
0 Response to "KALDU by Mia Damayanti"
Post a Comment